Untuk Esok

Kumpulan Puisi Cinta
Terakhir kali kita bersua di kota ini
Dengan sedikit senyum terpaksa
Lewati tiap hitungan detik dalam sepi, sendiri
Hanya peron tua dan hujan jadi teman usir lara yang mengganjal

Itu cerita terakhir kita
Sebelum salam perpisahan mematahkan asa yang lama terbangun
Pergi bersama kereta senja dan kenangan tentangmu
Demi masa depan, begitu katamu menguatkan

Semua tentang kita berakhir di sini
Di peron-peron tua Belanda yang usang
Dalam bayangan senja dan gerimis yang mengucur
Dan esok itu tak pernah lagi kembali
Mungkin di sana, dalam cerita takdir yang lain
Kau t'lah temukan dia yang pantas

                          ***

Jogja, 28 Desember 2010
Untuk esok, masihkah rindu ini jadi milik kita???

Cinta Semusim

    Dari tanah semusim, tempat di mana langit selalu menyembunyikan dingin rintik gerimis, biarkan kutulis beberapa larik kisah yang tak lagi menarik di matamu. Anggap saja sebuah kebetulan kita pernah bersua. Itu jauh lebih adil ketimbang mengenang hari-hari ketika itu – dan kita memilih diam, menjaga keheningan ketika sepi mati dalam ketiadaan kata-kata.

Kumpulan Cerita Mini
To love you die

    Masa lalu tetaplah masa lalu. Hari-hari yang sepadan dengan ratusan mil setengah perjalanan dari detik di mana harapan memekar membentuk hari esok. Tak ada alasan untuk memendam keheningan dan sebagian kisah lawas yang pasti luntur digeser waktu. Tak ada alasan pula untuk merenung sesal, mengingat sebentuk kesia-siaan yang tampak samar di kedua bola mata. Tentang hari lalu, biarkan itu lekas berlalu. Hidup selalu berputar lebih cepat dari yang bisa kita duga. Tak perlu membuat dirimu mesti menunggu masa lalu kembali. Tak ada bagian yang tersisa untuk sebagian kenangan dari masa itu.

    Hiduplah untuk hari depan yang memberi harapan. Tak perlu sisihkan sebagian memoar tentang hari-hari dimana kenangan adalah teman untuk menyusun cerita sendu. Itu hanya akan membuatmu hidup dalam bagian kenangan masa lalu. Lupakan saja cerita tentang gerimis kecil di Malioboro petang itu, memoar panjang hari-hari ketika di sini, dan semua yang menghalangimu membangun harapan tentang hari esok. Singkirkanlah sebagian kenangan di pelataran suci Sam Po Kong kala itu, atau cerita sepanjang Kota Tua yang masih segar dalam ingatan. Lupakan semua itu. Tak ada tempat bagi masa lalu di hari depan.

                                                              * * * * * * * *
 

Petang Di Groβen Stern - Cerita Mini

    Kau berdiri membelakangi menara Katedral Freiburg yang megah, membuang angan jauh ke teduh bangku-bangku kosong di pelataran Groβen Stern. Sebatang rokok kretek masih setia menyelinap diantara jemarimu, menunggu tempat yang tepat untuk dinikmati. Ini tengah kota, tak ada tempat bagimu berdua bersamanya. Nyaris di segala penjuru tertempel larangan  Rauchen verboten! Orang-orang negeri ini (masih) sangat mencintai bahasa ibu kandungnya.

    Tidak seperti negeri di seberang lautan Hindia yang membentang angkuh. Semua serba inggrisisasi atau apapun itu namanya. Hampir semua kata. Bahkan Sabtu kemarin sempat kau dengar obrolan alay anak-anak muda negeri itu dari tayangan streaming internet. Chiby...Chiby...dan bla bla bla. Ini lebih parah dari inggrisisasi, bahkan lebih kolot lagi. Di saat negeri lain mengalami kemajuan, negeri tersebut juga tidak mau kalah ikut mengalami kemajuan; ya kemajuan dalam bidang kemunduran. Tragis memang.
Kumpulan Cerita Mini

   Sejenak kau memandang langit biru. Ini (memang) musim panas bukan? Matahari sedang geram menggantung angkuh di atas menara Katedral. Pikiranmu melayang, membayangkan bagaimana menghabiskan sebatang rokok di pelataran Groβen Stern. Pasti nikmat. Itu yang selalu kau bilang sebagai klimaks penutup khayalan pendekmu, diikuti sedikit senyum manis. Gigi-gigi kuning akibat asap rokok menyembul bangga. Aku perokok hebat lho! tutur bibirmu sok pamer.

          Kau membuang pandangan ke belakang. Katedral Freiburg masih berdiri gagah memperhatikan tingkah gilamu. Tempat ini lebih indah dari Platz der Akademie, tetapi tidak akan mampu menandingi kecantikan Groβen Stern dan Tiergarten yang masih perawan. Sekali lagi pikiranmu melayang cepat, membayangkan petang di sana, menghabiskan sekotak rokok kretek sembari melukis keperawanan Groβen Stern dari samping bangku coklat tua itu. Ya sekotak rokok, bukan lagi sebatang. Pikiranmu kini lebih egois. Sungguh nikmat memang. Tak ada kenikmatan yang sebanding kemolekan Groβen Stern.

          Matahari belum juga pergi. Masih bertengger malu di atas menara katedral. Perlahan kau tinggali kesepian yang masih menghijau itu. Samar-samar, bayangan kakimu berlalu pergi, terbenam di sudut tikungan toko roti Bäckerei Zimmermann. Aroma roti mengiringi langkahmu, semakin cepat sebelum akhirnya kau berhenti pada sebuah simpangan. Selembar kertas keluar dari tas coklat kusam milikmu.

        Groβen Stern masih jauh di ujung kaki. Hanya angan yang sudah menyetubuhi kemolekannya. Mata yang meraba keindahan rupa matinya. Tangan yang mengusap pundaknya di sempat malam. Juga telinga yang (masih) setia merekam pesonanya dari mereka yang pernah menidurinya. Kota itu benar-benar bergairah.

Sesaat kau berhenti, memandangi kertas kusam itu lagi.

       “Hannover-Messe, aku datang. Semoga di sana, bisa kutemukan orang tua dari anak-anak alay yang sedang menjual negerinya di pinggiran lautan lepas. Mungkin di sana juga, aku bisa pulang” gumammu seribu harapan. Lalu Groβen Stern? Bagaimana dengan kemolekan kota itu? Sudahlah, biarkan Groβen Stern tetap jadi gadis penjaga tidurmu. Mungkin dengan begitu, Groβen Stern akan lebih cantik dalam sketsa hitam putihmu yang telanjang, bukan seperti di sana; Groβen Stern tinggal cerita dan bangku-bangku hijau di musim salju.

                                                                   ********

Semarang, 16 Agustus 2012
Untuk Groβen Stern dan petang sehabis itu...

*Pernah ditulis di blog lama saya Rumah Hijau namun sudah dihapus.

Terluka - Puisi

Di jalan kepulangan ini
Ketika rindu mesti berhenti merangkai kata mengeja rupa
Di mana akan kusembunyikan luka?
Sedang rindu sudah penuh di atas kepala.

Tapi aku mesti pulang
Menghitung hari kemudian sendiri
Mungkin dengan rindu yang sudah jadi luka
Biarkan itu demikian serupa
Aku memang bodoh
Membiarkan perpisahan terjadi diantara kita.

---------------------****-----------------------------

Yogyakarta, 1 Februari 2013.


Terluka-Puisi Denny Neonnub




Sumber Gambar : Google Images

Tentang Kamu

Aku lupa bagaimana sakitnya terluka
Tentang Kamu - Puisi Denny Neonnub

Mengulang hari-hari dalam sepi, sendiri     
Mengurai apa yang tak jadi biasa.

Tapi tenanglah,
Mungkin dengan begini
Segala tentangmu akan lebih cepat lenyap
Hilang dimakan hari-hari senyap
Hingga sendiri kita menghilang pergi.

------------------****---------------------------

Yogyakarta, 31 Januari 2013